fiksi

Bu Ratih: Gigih Walau Tertatih (Part 3)

Ini bagian terkahir dari kisah fiksi tentang Bu Ratih, baca dulu Part 1 dan Part 2 ya.

Di suatu pagi setelah shubuh.

“Nayla, lahir dan besar di Jakarta?” tanya Bu Ratih kepada saya.

“Iya Bu, orang tua saya dari Sumatra yang memutuskan untuk merantau, membuka usaha di Jakarta setelah menikah.”

“Ibu juga merantau ke Jakarta setelah menikah, memutuskan untuk mengikuti suami yang menjadi guru di Jakarta.”

Di suatu pagi setelah shalat subuh di Masjidil Haram, Bu Ratih melanjutkan kisahnya di perjalan pulang ke hotel. Bu Ratih menikah dengan laki-laki yang juga berasal dari Jawa Tengah. Laki-laki itu bekerja di Jakarta dengan profesi yang sama dengan Bu Ratih, seorang guru. Ayah Bu Ratih meninggal sebelum Bu Ratih menikah, dengan demikian Bu Ratih sudah menjadi yatim piatu sebelum menggenapkan separuh agamanya. Setelah menikah, Bu Ratih mengajukan untuk pindah mengajar SD di Jakarta. Beliau mengurus kepindahan dari desa terpencil di Jawa Timur dalam kondisi hamil. Semua itu diperjuangkan dengan sepenuh hati agar Bu Ratih bisa mengikuti suaminya. Akhirnya Bu Ratih diterima menjadi guru SD di Jakarta. Bu Ratih hidup sederhana bersama suaminya, tinggal di kamar kos, sampai akhirnya tinggal di rumah dinas yang ada di sekolah tempat suami Bu Ratih mengajar. Dua tahun setelah menikah, Bu Ratih pun dikaruniai anak pertama.

Ibu Kota yang megah dan menjanjikan banyak harapan ternyata belum bisa membawa kebahagiaan untuk Bu Ratih. Ternyata, di tahun kelima pernikahan, Bu Ratih harus berpisah dengan suaminya karena ada pihak ketiga yang juga menginginkan suaminya. Karakter Bu Ratih yang baik dan menghindari konflik, mengizinkan suaminya untuk menginggalkan Bu Ratih dan menikah lagi. Suatu hal yang membuat seluruh keluarga dan tetangga heran. Bagaimana Bu Ratih bisa mengambil keputusan tersebut. Di mata semua orang, tidak ada cacat sama sekali dari Bu Ratih, seorang guru yang sabar, cantik, dan cekatan mengurus rumah tangga.

“Kalau ditanya apakah Ibu sedih saat itu, pasti sedih. Tapi ibu harus kuat dan terus berjuang untuk anak Ibu. Marah juga tidak akan menyelesaikan masalah, jadi ikhlas menjadi kunci untuk menyelesaikan masalah itu. Bu Ratih tegar bercerita sepanjang perjalanan, tanpa mengeluarkan nafas yang menderu. Menunjukkan beliau sudah menerima dengan baik setiap takdir hidupnya.

Bu Ratih memutuskan berpisah secara baik-baik dengan suaminya, tanpa akta cerai, agar suaminya tidak mendapatkan sanksi sebagai pegawai negeri. Bu Ratih tidak menuntut harga gono-gini atau meminta nafkah setiap bulan. Allah Maha Penolong, Bu Ratih bisa tinggal bersama putrinya di sebuah rumah kecil, di sekolah tempat Bu Ratih mengajar. Rumah dinas sederhana di belakang sekolah itu belum ada yang menempati, sehingga Bu Ratih tidak perlu mencari rumah untuk tinggal bersama putrinya. Saat mengajar Bu Ratih juga tidak sulit mengajak putrinya ikut serta, karena rumahnya memang berada di sekolah tersebut.

Menjadi orang tua tunggal, untuk putrinya yang saat itu masih berusia 3 tahun, bukan hal yang sederhana. Di Jakarta Bu Ratih tidak memiliki sanak saudara, pulang kampung pun bukan pilihan saat itu karena orang tua Bu Ratih juga sudah tidak ada. Namun keluarga dari mantan suami Bu Ratih tetap menjadi keluarga bagi Bu Ratih yang siap mendukung Bu Ratih dalam kondisi apapun. Bu Ratih tidak pernah memutuskan silaturahim dengan keluarga mantan suaminya, bahkan tetap mengajarkan putrinya untuk tidak membenci ayahnya. Lelah, tertatih, itu pasti, karena ternyata ujian Bu Ratih selalu datang dan pergi. Menjadi piatu sejak balita, hidup penuh perjuangan saat masa sekolah, mengabdi di dusun terpencil, ternyata masih belum cukup. Di ibu kota, Bu Ratih harus mampu bertahan menjadi orang tua tunggal bagi putrinya selama belasan tahun. Speechless, saya tidak mampu berkata-kata apapun atas kisah pahit tersebut.

Kalau tidak dekat dengan Allah, mungkin Ibu sudah memutuskan untuk mengakhiri hidup Nayla. Ibu merasa penanaman nilai agama dari Ayah Ibu sangat membekas hingga Ibu masih bisa bertahan saat itu. Setiap kali melihat putri ibu, ibu punya harapan bahwa kelak ia harus bahagia sudah memiliki Ibu, walau hidupnya tak sempurna, tanpa ayah di sampingnya. Saat ini alhamdulillah putri Ibu sudah menjadi dokter, suatu anugrah luar biasa dari Allah.”

MasyaAllah, alhamdulillah ibu berhasil mendidik putri ibu seorang diri ya, walau Ibu tidak merasakan kasih sayang seorang ibu waktu kecil. Sekarang putri Ibu sudah menikah?”

Sudah Nayla, anaknya berusia satu tahun saat ini. Cucu yang paling ibu rindukan selama perjalanan haji ini, ini fotonya.” Bu Ratih menunjukkan foto cucunya yang sedang bermain.

 “Inna ma’al usri yusra, janji Allah itu benar sekali Nayla. Walau Ibu menjadi orang tua tunggal, menghidupi anak ibu sendiri, tapi Allah beri kesempatan Ibu bisa kuliah lagi sampai S1 di tengah kesibukan mengajar di SD. Sebuah mimpi yang tertunda saat lulus sekolah dulu. Menjadi guru selama puluhan tahun di Jakarta, juga Ibu jalani dengan baik, sampai akhirnya tahun lalu Ibu dilantik menjadi kepala sekolah, tepat di hari cucu pertama Ibu lahir. Allah juga karuniakan Ibu bisa naik haji, yang dulu sepertinya hanya mimpi bisa naik haji. Allah Maha Baik, bukan?”

Saya hanya mampu menggangguk sambil mengusap air mata yang sudah mengalir berulang kali. Berkaca bahwa perjalanan hidup saya belum ada apa-apanya dibanding Bu Ratih. Saya yang memiliki orang tua lengkap sejak kecil, hidup berkecukupan saat sekolah, bisa kuliah dan bekerja dengan baik, tapi masih seringkali merasa hidup ini sulit dijalani. Dari Bu Ratih saya belajar bahwa hidup ini adalah suatu perjuangan yang harus dilewati dengan kebaikan demi kebaikan. Bu Ratih yang sejak kecil sabar menjadi seorang kakak tanpa asuhan seorang ibu, tetap berjuang semasa sekolah dengan berbagai keterbatasan, rela mengajar di desa terpencil, sampai merantau ke Jakarta yang ternyata justru membuka kepedihan baru untuk Bu Ratih.

“Nanti, kalau sudah sampai Indonesia lagi, main ke rumah Ibu ya. Ibu kenalkan dengan putri dan cucu Ibu.” Cerita ba’da shubuh hari itu menutup kisah Bu Ratih, karena hari itu adalah hari terkahir kami di Mekkah. Siang harinya kami sudah harus bersiap-siap untuk ke Indonesia. Berat hati melepaskan tanah yang diberkahi, tetapi juga ada rasa syukur karena akan Kembali bertemu dengan anak-anak dan keluarga di tanah air.

——

Jakarta, Agustus 2022

Tahun ini merupakan tujuh tahun sejak kepulangan saya dan Bu Ratih ke Indonesia. Setiap lebaran haji, saya selalu berkunjung ke rumah Bu Ratih yang sudah saya anggap seperti Ibu saya. Idul Adha adalah pengingat suatu masa yang pernah saya lewati bersama Bu Ratih di tanah suci. Momen ibadah haji yang tidak hanya memberikan perjalanan spiritual untuk saya karena kebersamaan dengan Bu Ratih yang amat berkesan. Bu Ratih adalah salah satu sosok inspirasi bagi saya, pahlawan perempuan Indonesia yang harus kuat dan bertahan, walau ujian berkali-kali menghampiri. Beliau telah menjadi pahlawan untuk keluarganya dalam berbagai kesempatan, sejak kecil sampai saat ini. Beliau juga pahlawan tanpa tanda jasa, yang telah mengadi mulai dari desa terpencil hingga sampai ke Ibu kota. Bulan ini, Bu Ratih akan pensiun dari tugasnya sebagai seorang guru, semoga keberkahan dan kebahagiaan membersamai beliau.

Terima kasih Bu Ratih, sosok yang tak letih walau tertatih.

Selamat ulang tahun Bu Ratih, selamat menikmati masa pensiun.

Semoga Allah selalu menjaga Ibu dan keluarga.

Salam sayang dari Nayla,

01-08-2022

Leave a comment