fiksi

Bu Ratih: Gigih Walau Tertatih (Part 1)

Sesekali menulis Kisah Fiksi, tentang Bu Ratih.

Tahun 2015, alhamdulillah saya mendapatkan kesempatan untuk pergi haji ke tanah suci. Pada perjalanan itulah, saya berkenalan dengan Bu Ratih, seorang guru sekolah dasar  (SD) di Ibu Kota Jakarta. Satu bulan bersama beliau, membuat saya seperti menemukan ibu kedua dalam hidup ini. Kami memilih satu biro penyelenggara haji yang sama, berkenalan sejak mulai manasik haji, sampai akhirnya takdir membuat kami seringkali berada di kamar hotel yang sama, baik di Mekkah maupun di Madinah. Oiya, pembagian kamar di Mekkah dan di Madinah dibedakan untuk laki-laki dan perempuan, jadi kamar suami dan istri dipisahkan.

Mekkah, September 2015

Seperti mimpi rasanya.” ucap Bu Ratih yang selesai shalat menghadap ke Ka’bah yang sesungguhnya.  Selama ini Bu Ratih hanya mampu menatap Ka’bah melalui pigura berukuran 30×40 di rumahnya. Perempuan berusia 53 tahun tampak sangat terharu, berulang kali mengusap air mata yang mengalir di pipinya.

Alhamdulillah ya Bu, kita diberi kesempatan mengunjungi rumah Allah. ” sahut saya yang juga tidak berkuasa menahan haru.

Kami tiba di hotel pukul 20.30 dan malam itu Bu Ratih bercerita tentang sepenggal kisah hidupnya. Kami sudah selesai menyelesaikan rukun haji, sebagian besar jama’ah dari Indonesia menghabiskan waktunya untuk membeli oleh-oleh. Saya dan Bu Ratih memilih untuk beristirahat di kamar karena oleh-oleh kami sudah cukup. Kalau Bu Ratih malah bilang sudah mendelegasikan pembelian oleh-oleh pada lima orang kerabatnya di Jakarta. Ya, di Tanah Abang semua tersedia, jadi tidak perlu bawa jauh-jauh dari Mekkah. Bu Ratih hanya membeli oleh-oleh spesial untuk anak dan cucunya. Kalau saya memang tidak hobi berbelanja, jadilah malam itu saya mendengarkan cerita Bu Ratih dengan seksama.

Seadainya bapak dan simbok masih hidup, pasti bahagia kalau Ibu ajak ke sini. Bapak sangat ingin pergi ke Mekkah, tapi pedagang kecil dari desa mana punya uang untuk naik haji.”  Bu Ratih membuka kisahnya dengan mengingat kedua orang tua beliau.

Betul bu, zaman dulu perjuangan naik haji sangat berat ya, perlu berbulan-bulan untuk sampai ke Mekkah naik kapal laut, biayanya juga tidak sedikit.” Saya menyahut sambil mengambil cangkir untuk membuat kopi agar tidak mengantuk.

Usia Nak Nayla berapa?” tanya Bu Ratih.

Saya 35 tahun, Bu.” Teko pemanas air mulai saya nyalakan, mengeluarkan sedikit suara bising.

Senang ya masih muda sudah sampai ke sini, jadi tidak mudah lelah seperti Ibu

Justru saya semakin semangat melihat Ibu yang selalu bangun lebih pagi, tidak patah semangat berangkat ke Masjid walau panas terik sekali.” Saya tersenyum sambil menuangkan kopi ke dalam cangkir. Bu Ratih yang usianya jauh lebih tua tidak perlu kopi untuk menahan kantuk, sedangkan saya harus membawa puluhan sachet kopi dari Indonesia agar bisa beribadah maksimal di Tanah Suci tanpa kantuk.

Ibu baru bisa berhaji di usia ini penuh perjuangan, jadi sangat disayangkan kalau Ibu tidak maksimalkan keberadaan Ibu di sini. Ibu mendaftar haji lima tahun yang lalu, alhamdulillah tabungan dari mengajar di SD selama 30 tahun tahun cukup juga.”

Wah masyaAllah, menabung 30 tahun ya Bu, kalau saya sejak usia 17 tahun sudah dibuatkan tabungan haji oleh orang tua, jadi begitu lulus kuliah dan bekerja tinggal menambah sedikit-sedikit.”

Beruntung sekali Nayla, punya orang tua yang berkecukupan dan sadar akan pentingnya berhaji. Ibu dari kecil hidup sederhana, kalau ada satu telur, dimakan untuk bertiga bersama Bapak dan adik Ibu.

Bu Ratih adalah anak pertama dari dua bersaudara. Adiknya seorang laki-laki yang usianya hanya terpaut satu tahun dengan beliau. Bu Ratih berasal dari salah satu Kabupaten di Yogyakarta. Simbok Bu Ratih wafat saat usia beliau 4 tahun, bahkan adiknya pun belum dapat mengingat wajah Simboknya dengan seksama. Sejak kecil Bu Ratih tinggal di rumah sederhana bersama bapak dan adiknya. Bapaknya adalah seorang pedagang yang sangat sabar dan sering mendapat kepercayaan dari masyarakat desa untuk mengelola urusan kampung.

Bapak itu sangat sabar, sesuai nama beliau Sobari. Mengasuh Ibu dan adik sejak kami berusia kurang dari 5 tahun bukan perkara yang mudah. SD saja tidak tamat, mana tau teori parenting seperti yang dipelajari orang tua zaman sekarang. Tapi Bapak selalu mengajarkan keteladanan kepada kami, shalat paling awal, makan paling akhir setelah anak-anaknya kenyang, dan tidak lupa sedekah walau kami hidup kekurangan.” Saya mengangguk takzim, lalu menyerahkan tissu karena melihat mata Bu Ratih yang mulai berair.

Adik Bu Ratih seorang laki-laki yang sikapnya waktu kecil seperti anak-anak lain pada umumnya. Bapak Sobari memutuskan untuk memasukkan Bu Ratih dan adiknya ke SD di tahun yang sama, umur Bu Ratih dituakan satu tahun agar adik bisa masuk SD.

Sejak hari pertama, adik ibu selalu duduk di sebelah Ibu, tidak bisa beranjak jauh dari Ibu sedikit pun. ” tutur bu Ratih sambil tersenyum. Usia adik Ibu masih 5 tahun saat itu, belum ada keinginan sekolah sama sekali. Maka setiap di kelas adiknya selalu menenggelamkan kepalanya di atas meja, tak mengangkat sedikit pun, tak menjawab apapun pertanyaan guru. Maka, Bu Ratih seperti seorang kakak yang merangkap menjadi Ibu sejak usia 6 tahun. Mengajarkan adik, menulis 2 kali jika ada PR saat adik mogok menulis, mencuci baju, menyapu rumah, terkadang juga memasak.

Orang yang paling baik di sisi Allah itu yang paling mulia akhlaknya, itu pesan dari bapak yang Ibu pegang kuat-kuat, Nayla. Ibu rajin belajar agar bisa menjadi orang terbaik di masa yang akan datang.

Saat lulus SD, Bu Ratih dan adiknya berhasil masuk ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) unggulan di Kabupaten. Bu Ratih bercerita, saat masuk ke SMP unggulan, hidupnya terasa berbeda. Seringkali merasa minder karena baju yang lusuh atau buku lawas yang digunakan berkali-kali. Mayoritas siswa yang bersekolah di SMP unggulan adalah anak pegawai atau pengusaha yang kaya raya, sementara bu Ratih hanya anak pedagang kecil dengan penghasilan yang tidak menentu. Tapi bersyukur, teman Bu Ratih tidak pernah segan main ke rumah bu Ratih yang hanya beralaskan tanah, minta diajari matematika sambil kadang membawa seragam atau buku tulis baru untuk Bu Ratih.

Fabiayyi aalaai Rabbikumaa Tukadzdzibaan. Betapa bersyukurnya Ibu setiap kali mendapatkan buku tulis atau seragam yang bagus dari teman-teman.”

Lulus SMP, Bu Ratih memutuskan masuk ke Sekolah Pendidikan Guru (SPG). Bu Ratih bisa saja masuk SMA unggulan, tapi selepas SMA akan sulit untuk bisa langsung bekerja.  Ayahnya hanya pedagang, tidak mungkin membiayai kuliah untuk dua anak sekaligus. Akhirnya bu Ratih memilih masuk SPG agar bisa menjadi guru saat lulus dan tidak membebani bapaknya.

Kuliah adalah mimpi Ibu yang sulit sekali digapai saat itu, jadi ibu memutuskan menyimpan mimpi itu dalam kotak yang rapi, agar ibu bisa buka lagi suatu hari nanti. Termasuk naik haji ini, dulu juga hanya mampu bermimpi, Nayla. ” Bu Ratih membuka tirai di hotel saat itu, memandang ke luar kota Mekkah yang gemerlap dengan lampu-lampu.

Kalau kata salah seorang penulis novel Bu, bermimpilah maka Allah akan memeluk mimpi-mimpimu itu. ” Saya menambahkan sedikit sambil menghabiskan kopi yang ada di cangkir. “Terus, Bu, Ibu langsung jadi guru setelah lulus SPG?

Ceritanya masih panjang, dilanjutkan besok saja ya, Ibu mau membaca Al-Qur‘an sedikit lagi dan lalu istirahat agar besok bisa tahajud di masjidil haram

Yaaah, penonton kecewa nih bu, padahal udah habis nih satu cangkir kopi. Masih siap mendengarkan lanjutan cerita Ibu sampai episode se-ra-tus.”

Kamu masih muda kuat begadang, beda sama Ibu. Ibu ambil wudhu dulu ya Nayla, Assalamualaikum.

Wa’alaikumssalam warohmatulallahi wabarakatuh Bu.”

— continue to Part 2

2 thoughts on “Bu Ratih: Gigih Walau Tertatih (Part 1)

Leave a comment